SAAT PANGLIMA BERPULANG.....
29 Januari 1950
Titip anak anak...Tolong aku dibimbing
tahlil....
Ucapan terakhir Panglima Besar
Soedirman....
Berjalan tertatih-tatih, Letnan Jenderal
Soedirman memasuki rumah dinasnya di jalan Bintaran Wetan, Yogyakarta. Di depan
pintu, sang istri, Siti Alfiah, menyambutnya. Soedirman pulang setelah dua
pekan meninggalkan istri dan enam anaknya untuk memimpin operasi penumpasan
pemberontakan Partai Komunis Indonesia di Madiun, Jawa Timur. Malam itu, akhir
September 1948, di kediamannya yang kini menjadi Museum Sasmitaloka, Soedirman
terlihat ringkih. Kepada istrinya, dia mengeluh tak bisa tidur selama di
Madiun.
Soedirman rupanya begitu terpukul
menyaksikan pertumpahan darah yang terjadi antara rakyat Indonesia itu.
Peristiwa Madiun membuat batin Panglima Besar Angkatan Perang Republik
Indonesia itu nelangsa.
Selain kelelahan berat, Soedirman
tertekan batinnya karena peristiwa itu. Malam itu, kendati kondisi kesehatannya
turun, Soedirman tetap mandi dengan air dingin. Saran sang istri agar ia mandi
air hangat tak diindahkan. Dan inilah awal petaka bagi Soedirman. Esoknya,
Soedirman terkapar di tempat tidur.
Ketika ulang tahun tentara tiba, 5
Oktober 1948, Soedirman yang masih sakit, mengunjungi Taman Makam Pahlawan
Semaki, Yogyakarta. Di sana ia melakukan tabur bunga ke pusara anggota tentara
korban pemberontakan PKI Madiun. Sepulang dari tabur bunga, kesehatannya memburuk.
Kendati ia sakit, kegemarannya merokok tetap tak bisa dihilangkan. Sesekali,
sembari terbaring, dia menghisap rokok kretek. Istrinya tak berani melarang.
Karena tahu Soedirman memang perokok berat.
Karena Soedirman tak kunjung pulih, maka
diutuslah sejumlah dokter tentara memeriksa kesehatannya. Tim dokter muda itu
mendiagnosis ia menderita tuberkolosis, infeksi paru-paru. Keluarga Soedirman
meminta dua dokter senior, Asikin Wijayakusuma dan Sim Ki Ay, melakukan
pemeriksaan dua dokter tersebut tak jauh beda dengan pendahulunya. Atas saran
Asikin, Soedirman dibawa ke Rumah Sakit Panti Rapih, Yogyakarta.
Soegiri, bekas ajudan Soedirman, menulis
bagaimana saat sang Jenderal dirawat di rumah sakit Katolik itu. Soedirman
dirawat di kamar 8 Bangsal Maria, yang terdapat di bagian depan. Soedirman
terkena pulmonary tuberculosis. Penyakit itu diketahui Soegiri dari dokter yang
merawat Soedirman. Menurut Soegiri, obat yang dibutuhkan Soedirman hanya ada di
Jakarta. Kalaupun sampai di Yogyakarta, obat itu harus melalui jalur
penyelundupan. Karena Jakarta, saat itu dikuasai oleh tentara sekutu.
Karena Soedirman butuh pengamanan cepat,
tim dokter memutuskan melakukan operasi untuk menyelamatkannya dengan cara
membuat satu paru-parunya tak berfungsi. Komplikasinya, kata Soegiri, memang
sudah sedemikian rupa, sehingga membuat dokter menempuh cara tersebut.
Pasca-operasi, menurut Soegiri, tim dokter berbohong kepada Soedirman. Mereka
mengatakan operasi itu cuma mengangkat satu organ kecil di paru-paru yang
menghambat saluran pernafasan. Adapun ibunya dibertahu dokterperihal operasi
itu. Dan sejak itu Soedirman bernafas dengan separuh paru-parunya.
Setelah operasi, Soedirman diminta
beristirahat lebih lama. Ia juga dilarang keras merokok. Menurut Soegiri,
ketika hari jadi ke-25 rumah sakit itu, Soedirman khusus menulis sajak sebagai
kado ulang tahun. Sajak lima alinea itu berjudul “ 25 Tahun Rumah Nan Bahagia”.
Isinya, ucapan terima kasih Soedirman
karena mendapat perawatan yang baik selama disana. Tulisan asli sajak itu kini
diletakkan di bawah monumen Jenderal Soedirman di area Panti Rapih. Monument
itu tak jauh dari kamar Soedirman dirawat.
Sebulan melakukan pemulihan di rumah
sakit, Soedirman pulang ke rumahnya di Bintaran. Ketika di rumah, Soedirman
pernah beberapa kali tak bisa menahan hasrat ingin merokok. Perilaku ini,
lagi-lagi, justru memperburuk kesehatannya. Soedirman pernah muntah darah. Pada
17 Desember 1948, keajaiban datang. Soedirman tiba-tiba bisa bangkit dari
tempat tidur. Sebelumnya, sepulang dari Panti Rapih, ia selalu terbaring di
ranjang. Hari itu, kepada istrinya, Soedirman berkata memiliki firasat Belanda
akan melakukan agresi. Dua hari berselang, firasat sang Jenderal terbukti :
Belanda membombardir Yogyakarta, yang saat itu Ibu Kota Indonesia. Ia pun
memilih mengakhiri cutinya.
Dengan diusung tandu, hamper delapan
bulan,Soedirman keluar masuk hutan memimpin gerilya dari luar Yogyakarta.
Pernah suatu ketika ia tidak makan selama lima hari. Dengan perut kosong,
Soedirman menembus medan yang diguyur hujan lebat. Sesampai di pacitan, Jawa
Timur, ia sakit. Anak buahnya terpaksa mendatangkan dokter dari Solo. Rika,
suster yang merawat Soedirman, kala itu menulis pengalamannya saat bersama
jenderal besar ini. Menurut dia, saat itu Soedirman dirawat dengan nama samaran
: Abdullah Lelana Putra. Pengakuan Rika pada 1985 itu dimuat surat kabar yang
naskahnya kini tersimpan juga di museum Sasmitaloka. Soedirman memakai nama
samaran supaya keberadaannya tak diketahui Belanda.
Di Panti Rapih, Soedirman masih memimpin
rapat kabinet bersama Presiden Soekarno membahas upaya mempertahankan
kemerdekaan. Hanya dua pekan ia dirawat disana, setelah itu, Soedirman kembali
ke rumah. Setelah Belanda bersedia melakukan gencatan senjata pada Oktober
1949, kesehatan Soedirman kian mencemaskan. Dokter meminta kembali ke Panti
Rapih. Tapi ia memilih beristirahat di wisma tentara di Badakan, Magelang. Tapi
tetirah sejuk dengan pemandangan Gunung Sumbing itu tak bisa membuat kesehatan
Soedirman membaik. Tiga bulan disana, ia kerap muntah darah. Juga ditempat
tidur. Dokter Husein dari Rumah Sakit Magelang bolak-balik memeriksa dan
menungguinya. Dan saat itu, kondisi Soedirman tinggal tulang dan kulit saja.
Seolah-olah mendapat firasat hari
kematiannya segera tiba, pada 18 Januari 1950, Soedirman memeinta sejumlah
petinggi tentara menemuinya di Badakan. Esok harinya, ia emanggil istri dan
tujuh anaknya. Seperti kepada para petinggi tentara, ia juga memberi wejangan
kepada istri dan anak-anaknya. Tak sepenuhnya pertemuan dengan keluarga diisi
dengan wejangan. Soedirman juga sempat bergurau. Kepada keluarganya, misalnya,
ia menyatakan sebenarnya ingin seperti Lurah Pakis, kenalannya, yang hidup
sampai tua dan bisa meminang cucu.
Pada Ahad pagi, 29 Januari 1950, setelah
lama terkulai lemas sejak Oktober di rumah peristirahatan tentara di Magelang,
mendadak wajah Soedirman tampak cerah. Pagi itu, Ahmad Yani, Gatot Soebroto,
serta beberapa petinggi militer dan sipil hadir. Tidak diketahui apa yang
dibicarakan.
"Waktu itu, menurut Ibu, tiba-tiba terdengar
suara kaleng dan botol pecah mendadak. Bersamaan dengan itu, bendera di halaman
melorot setengah tiang. Sampai Ibu bilang ke beberapa pengawal, ’Ah, itu hanya
angin’."
Setelah salat magrib, sebagaimana
didengar dari Alfiah, Soedirman memanggil istrinya ke kamar. Di dalam, dia
berkata, "Bu, aku sudah tidak kuat. Titip anak-anak. Tolong aku dibimbing
tahlil.” Alfiah menuntunnya mengucap Laa Ilaha Illallah, dan Soedirman
mengembuskan napas terakhir disaksikan dan dalam dekapan istri tercinta...
Oleh: Beny Rusmawan
https://web.facebook.com/girnaldi.girnaldi/posts/274180737382570
30 januari 2021