Singkawang dan Pontianak
Pada kesempatan kali ini, Hari Kamis hingga Sabtu tertanggal
19-21 Desember 2019 kami, saya dan Destra akan melakukan perjalanan ke
Singkawang Provinsi kalimantan Barat dalam rangka kegiatan monitoring. dalam
perjalanan ke Kalimantan Barat ini terbagi menjadi dua tujuan yang akan
dikunjungi dan dua tim pula yaitu tujuan Singkawang (kami bedua) dan tujuan
Pontianak oleh tim yang lain. Dalam perjalanan berangkat ke Kalimanatan Barat
tim kami dan tim yang satunya lagi berangkat bareng sedang dalam perjalanan
pulang kami beda jam. Kami sampai Bandara Internasional Supadio sekitar jam 10:00
AM waktu Indonesia bagian tengah atau WITA dan kami melanjutkan perjalanan ke Singkawang.
Untuk wilayah Singkawang tentunya menenpuh jarak lebih jauh lagi dari Bandara
Internasional Supadio sekitar 166 km
atau sekitar 3 jam 30 menit.

Sekitr jam 2:30 PM kami sampai di Singkawang tepatnya di
Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Singkawang diterima oleh Pak
Herry dan Pak sidik. Setelah itu kami berjumpa dengan para alumi pelatihan
Boarding di BBPLK Bekasi lalu kami melakukan monitor kepada para alumni BBPLK
Bekasi ini. Hasilnyapun bervariasi ada yang sudah bekerja dan ada pula yang
belum bekerja, selain itu juga ada saran dan masukan dari para alumi tersebut.
 |
jumpa dengan alumni BBPLK Bekasi
|
Setelah kegiatan monitoring selesai, kamipun mencari
penginapan untuk bermalam di Singkawang. Sambil mencari penginapan kami sekaligus
diajak keliling seputaran area Singkawang. Sempat terkejut pula ternyata banyak
sekali disini warga keturunan etnis Tionghoa, bahkan sebagian besar malah
selain ada etnis Dayak dan Melayu
Jumat pagi 20 Desember 2020 kami di jemput oleh Pak Herry
untuk Jalan_jalan sekitar Singkawang lalu Sholat Jumat dan makan siang. Untuk
makan siang sendiri kami diajak oleh Pak Herry ke salah satu tempat makan yang
terkenal di Singkawang yaitu “Bakso Sapi Bakmi Ayam 68”. Disebut 68 karena
berada di Jalan Diponegoro no 68 dan yang unik dari tempat ini adalah cara
penyajiaannya yaitu sang koki dalam memasak mi dengan cara dilempar-lempar
keatas, maka dari itu terkenal dengan sebutan “mi loncat”. Begitu sudah selesai
urusan dan kamipun akan melanjutkan perjalanan ke Pontianak, kami pamitan ke Pak
Herry serta mengucapkan rasa terimakasih atas penerimaan kami selama ini.
 |
Rumah Makan Bakso Sapi Bakmi Ayam 68 |
|
|
Dalam perjalanan menuju Pontianak kami sempat mampir
dibeberapa pantai seputaran Singkawang. Dianatarnya adalah Pantai Sedau, Pantai
Pasir Pnjang dan Pantai Kura-kura. Wwooww bagus dan indah panorama di
Pantai-pantai sini. Alhamdulillah saya mesti bersyukur diberikan kesempatan
berkunjung kesini dan mendataburi alam. Semoga rasa syukur saya atas Nikmat
yang Allah berikan tidak ternidai.
 |
Pantai Pasir Panjang
|
Oya saya coba-coba cari informasi terkait Singkawang ini dia
sejarahnya:
Awalnya Singkawang merupakan sebuah desa bagian dari wilayah
kesultanan Sambas, Desa Singkawang sebagai tempat singgah para pedagang dan
penambang emas dari Monterado. Para penambang dan pedagang yang kebanyakan
berasal dari negeri China, sebelum mereka menuju Monterado terlebih dahulu
beristirahat di Singkawang, sedangkan para penambang emas di Monterado yang
sudah lama sering beristirahat di Singkawang untuk melepas kepenatannya dan
Singkawang juga sebagai tempat transit pengangkutan hasil tambang emas (serbuk
emas). Waktu itu, mereka (orang Tionghoa) menyebut Singkawang dengan kata San Keuw Jong (Bahasa Hakka), mereka berasumsi dari sisi geografis bahwa Singkawang
yang berbatasan langsung dengan laut Natuna serta terdapat pengunungan dan
sungai, dimana airnya mengalir dari pegunungan melalui sungai sampai ke muara
laut. Melihat perkembangan Singkawang yang dinilai oleh mereka yang cukup
menjanjikan, sehingga antara penambang tersebut beralih profesi ada yang
menjadi petani dan pedagang di Singkawang yang pada akhirnya para penambang
tersebut tinggal dan menetap di Singkawang.
akhirnya kamipun sampai Kota Pontianak sekitar jam 5 sore dan di Pontianak ini
kami bermalam di Hotel Harris. Malam kami keluar sebentar untuk mencari makan
setelah itu barulah kami istirhat. Keesokan harinya yaitu Sabtu 21 Desember
2020, kami punya rencana ke Tugu Khatulistiwa. Sabtu sudah tiba dan kamipun
coba untuk pesan Grab Car rencana menuju Tugu Khatulistiwa, ternyata info dari
driver grab, jalan menuju Tugu Khatulistiwa sedang ada perbaikan dan
membutuhkan waktu yang berjam-jam untuk sampai ke tujuan. Berhubung kami pulang
hari ini dan pemberangkatan pesawat jam 5 sore. Lalu berubah tujuan dan atas
saran driver grab untuk berkunjung ke Rumah Radakng Pontianak dan kami sepakati
untuk berkunjung ke lokasi tersebut.
Saat samapai lokasi.. ternyata menarik juga Rumah Radakng
dan unik tentunya. kami memanfaatkan moment ini untuk mengmbil gambar, sambil
mencari tau informasi terkait bangunan tersebut.baik secara lisan ataupun
searching di Mbah google, inilah hasil yang saya dapatkan:
Rumah Radakng Pontianak Serta Keagungannya
Apa yang pertama kali terlintas dibenak kita ketika
mendengar kata “Kalimantan”? Mungkin satu di antara jawaban yang akan terlintas
ialah terdapatnya Suku Dayak yang merupakan suku asli dari tanah Kalimantan. Ya,
jika kita berkunjung suatu daerah, tidak lengkap rasanya jika kita tidak
memahami kebudayaan setempat, seperti tradisi, kebiasaan masyarakat, keunikan,
serta hal lainnya. Termasuklah rumah adat yang menjadi simbol serta manifestasi
dari suatu suku.
 |
Rumah Radakng
|
Di Kalimantan
Barat, terdapat rumah adat replika terbesar
di Indonesia, bernama Rumah Radakng. Rumah Radakng merupakan rumah adat Suku
Dayak yang dibangun untuk dijadikan landmark baru di Kota Pontianak setelah Tugu
Khatulistiwa. Rumah Radakng atau bisa disebut
dengan longhouse merupakan satu di antara ciri khas Provinsi Kalimantan
Barat. Rumah Radakng adalah sebutan untuk rumah panjang suku Dayak Kanayatn di
Provinsi Kalimantan Barat
Rumah adat ini diresmikan langsung oleh Gubernur Kalimantan
Barat Drs. Cornelis, MH dan menjadi satu di antara ikon Kalimantan Barat dan
Kota Pontianak. Letaknya yang berada di Komplek Perkampungan Budaya di Jalan
Sutan Syahrir, Kota Baru, Pontianak, berdampingan dengan Rumah Melayu Kota
Pontianak, menjadikan rumah adat ini sebagai pendorong dan tonggak bukti
tingginya toleransi antar umat berbudaya di Kota Pontianak dan Kalimantan
Barat.
Saat kita memasuki kawasan Rumah Radakng ini, maka
mata kita akan langsung tertuju pada 6 tiang besar di depan Rumah Radakng yang
di atasnya terdapat burung Enggang Gading yang menjadi simbol kegagahan dan
kekuatan bagi Suku Dayak Kalimantan Barat. Tak heran jika banyak wisatawan
lokal maupun mancanegara langsung mengeluarkan kameranya dan berfoto dengan
latar keenam tiang besar tersebut, sebagai satu di antara ciri khas Rumah
Radakng.

Sisi lain yang menarik jika kita memasuki kawasan Rumah Radakng
yaitu arsitektur yang digunakan. Sesuai dengan namanya, rumah adat ini
merupakan rumah panggung dengan tinggi 7 meter. Bukan tanpa alasan rumah adat
ini dibangun berbentuk panggung. Jika di pedalaman kalimantan, alasan rumah
Suku Dayak dibentuk berpanggung dimaksudkan untuk melindungi keluarga dari
serangan binatang buas dan antisipasi jika terjadi banjir. Selain tinggi 7
meter, kita bisa melihat bahwa Rumah Radakng memiliki 2 tiang utama sebagai
penopang bangunan serta memiliki panjang bangunan 138 meter. Tak heran jika
rumah ada ini sukses menjadi rumah adat terbesar di dunia, serta mendapatkan
penghargaan dari Museum Rekor Indonesia (MURI) sebagai rumah adat terpanjang di
Indonesia.
Pada umumnya rumah adat panjang di Kalimantan Barat memiliki
konstruksi yang unik, begitu juga dengan konstruksi yang dimiliki oleh Rumah
Radakng. Bila kita melihat di deretan tiang 6 besar yang di atasnya terdapat
Burung Enggang, maka kita dapat melihat tangga yang biasanya disebut Hejot. Jumlah
tangga haruslah ganjil, sehingga pada Rumah Radakng kita bisa melihat 3 tangga
di bagian tengah rumah, serta di ujung kiri dan kanan. Setelah kaki kita
menaiki tangga yang terbuat dari kayu setapak demi setapak, maka kita akan
sampai di badan rumah bagian atas. Badan rumah panjang pada umumnya menggunakan
kayu ulin yang kokoh dan dapat bertahan lama.
Setiap ruangan disekat-sekat dengan dinding yang terbuat
dari papan kayu. Lantai rumah pada umumnya menggunakan kayu yang terbuat dari
bambu, belahan batang pinang atau kayu bulat. Walaupun pada Rumah Radakng
materialnya didominasi oleh beton, namun hal tersebut tidak menghilangkan kesan
tradisional dan kearifan lokal dari Kalimantan Barat.
Ciri khas kearifan lokal tersebut bisa kita lihat dari
ukiran-ukiran motif dengan relief yang beraneka ragam. Motif-motif tersebut
terdapat pada pintu-pintu di Rumah Radakng, lalu pada tiang penyangga, dan di
dekat atap bagian atas. Motif tersebut dominan berwarna merah yang merupakan
warna khas Suku Dayak. Warna merah melambangkan keberanian. Di dalam rumah adat
ini, terdapat ruang utama yang mampu menampung hingga 600 orang.
Di bagian belakang dari Rumah Radakng, kita bisa lihat
halaman belakang yang begitu luas, serta terdapat taman-taman kecil di
belakangnya. Hal tersebut menambah keindahan dan kemegahan dari Rumah Radakng. Halaman
rumah adat ini memang didesain cukup luas untuk digunakan berbagai aktivitas
budaya lainnya. Banyak event-event yang diadakan di Rumah Radakng ini, seperti
Pekan Gawai Dayak XXXI, Pontianak Event Project, Gebyar Bulan Bung Karno (BBK)
Kalimantan Barat 2016, dan acara lainnya.
Tampilan dan arsitekturnya yang unik nan megah, sering
mengundang turis lokal maupun mancanegara untuk berkunjung ke tempat ini. Rumah
adat yang menjadi rumah adat terbesar di dunia dan merupakan simbol semangat
kekeluargaan, keagungnganm persaudaraan, gotong royong, dan kebersamaan
masyarakat.
Melihat posisi Rumah Radakng dari badan jalan, maka rumah
adat ini mempunyai letak dan posisi yang unik, yaitu miring dari badan jalan.Terlintas
di benak kita, mengapa letaknya miring dari badan jalan? Apakah ada maksud
tertentu?
Ya, karena prinsip pembangunan yang digunakan yaitu Huma
Betang, di mana Suku Dayak mempercayai untuk pembangunan rumah pada bagian hulu
rumah mengarah kepada terbitnya matahari, dan bagian hilir mengarah ke
terbenamnya matahari. Hal ini melambangkan kerja keras dalam mengarungi
kehidupan, dimulai dari matahari terbit hinga matahari terbenam. Sehingga,
wajar jika Rumah Radakng dibangun miring dari badan jalan.
Jika kalian berkunjung dan liburan ke Kalimantan Barat,
pastikan untuk berkunjung ke Rumah Radakng yang menjadi satu di antara ikon
wisata adat di Kota Pontianak. Posisinya berada di depan Bundaran Kota Baru.
Setelah dari Rumah
Radakng, kami masih penasaran terkait Tugu Khatulistiwa dan ada info untuk
menuju Tugu Khatulistiwa ternyata ada jalur lain menuju. Maka dari itu kami
coba untuk memesan Grabcar kembali. Setelah datang Grabcarnya lalu kami diskusi
terkait jalur menuju Tugu Khatulistiwa dan memang benar ada jalur lain menuju
kesana yaitu jalur pintas dengan menyebrangi sungai dan disambung lagi dengan
ojek motor. Akhirnya kamipun ke Tugu Khatulistiwa. Setelah sampai lokasi dan
sadar belum tentu bias kemari lagi, maka Kamipun mengabadikan momen ini.
Alhamdulillah saya dapet kesempatan berkunjung kesini. Suasana disini sedang
dan tidak terlalu ramai dan untuk sarana termasuk lengkap seperti sarana
ibadah, toilet, rumah makan, bahkan untuk rumah makannyapun banyak variasinya
bahkan ada pula rumah makan di tepi sungai nan indah.
 |
Tugu Khatulistiwa
|
Setelah melakukan perjalan dikedua tempat teresebut, lalu
kami kembali ke Hotel untuk mengambil tas yang kami titipkan di resepsionis
usai itu lanjut ke Bandara dan kembali ke rumah masing-masing
Berikut informasi terkait Tugu Khatulistiwa yang saya
dapatkan dari sumber internet:
Pontianak - Hanya ada 12 negara di dunia yang dilintasi garis
khatulistiwa. Namun hanya ada 1 kota yang persis memisahkan belahan bumi utara
dan selatan, yakni Pontianak. Anda tepat di titik tersebut saat mengunjungi
Tugu Khatulistiwa.
Dalam catatan tersebut disebutkan bahwa: Berdasarkan catatan
yang diperoleh pada tahun 1941 dari V. en. W oleh Opzichter Wiese dikutip dari
Bijdragen tot de geographie dari Chef Van den topographischen dienst in Nederlandsch-
Indië: Den 31 sten Maart 1928 telah datang di Pontianak satu ekspedisi
Internasional yang dipimpin oleh seorang ahli Geografi berkebangsaan Belanda untuk menentukan titik/tonggak garis equator di kota Pontianak dengan konstruksi sebagai berikut:
a. Tugu pertama dibangun tahun 1928 berbentuk tonggak dengan anak panah.
b. Tahun 1930 disempurnakan, berbentuk tonggak dengan lingkarang dan anak
panah.
c. Tahun 1938 dibangun kembali dengan penyempurnaan oleh opzicter /
architech Silaban. Tugu asli tersebut dapat dilihat pada bagian dalam.
d. Tahun tahun 1990, kembali Tugu Khatulistiwa tersebut
direnovasi dengan pembuatan kubah untuk melindungi tugu asli serta pembuatan
duplikat tugu dengan ukuran lima kali lebih besar dari tugu yang aslinya.
Jadilah Monumen Tugu Khatulistiwa, yang diresmikan oleh Gubernur Kalimantan
Barat saat itu yakni Parjoko Suryokusumo pada 21 September 1991. Sekarang,
kompleks Tugu Khatulistiwa dilindungi oleh Pasal 26 UU
No
5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya.
Bangunan tugu terdiri dari 4 buah tonggak kayu belian (kayu
besi), masing-masing berdiameter 0,30 meter, dengan ketinggian tonggak bagian
depan sebanyak dua buah setinggi 3,05meter dan tonggak bagian belakang tempat
lingkaran dan anak panah penunjuk arah setinggi 4,40 meter.
Diameter lingkaran yang ditengahnya terdapat tulisan EVENAAR (bahasa Belanda yang berarti Equator) sepanjang 2,11 meter.
Panjang penunjuk arah 2,15 meter.
Tulisan plat di bawah anak panah tertera 109o 20' OLvGr
menunjukkan letak berdirinya tugu khatulistiwa pada garis Bujur Timur.
Pada bulan Maret 2005, Tim Badan
Pengkajian dan Penerapan Teknologi
(BPPT) melakukan koreksi untuk menentukan lokasi titik nol garis khatulistiwa
di Kota Pontianak. Koreksi dilakukan dengan menggunakan gabungan metode
terestrial dan ekstraterestrial yaitu menggunakan global positioning system (GPS) dan stake-out titik nol garis
khatulistiwa dikoreksi
Hasil pengukuran oleh tim BPPT, menunjukkan, posisi tepat
Tugu Khatulistiwa saat ini berada pada 0 derajat, 0 menit, 3,809 detik lintang
utara; dan, 109 derajat, 19 menit, 19,9 detik bujur timur.
Sementara, posisi 0 derajat, 0 menit dan 0 detik ternyata
melewati taman atau tepatnya 117meter ke arah Sungai Kapuas dari arah tugu saat
ini. Di tempat itulah kini dibangun patok baru yang masih terbuat dari pipa PVC
dan belahan garis barat-timur ditandai dengan tali rafia.
Mengenai posisi yang tertera dalam tugu (0 derajat, 0 menit
dan 0 detik lintang, 109 derajat 20 menit, 0 detik bujur timur), berdasarkan
hasil pelacakan tim BPPT, titik itu terletak 1,2 km dari Tugu
Khatulistiwa, tepatnya di belakang sebuah rumah di jalan Sungai Selamat,
kelurahan Siantan Hilir.
Peristiwa penting dan menakjubkan di sekitar Tugu
Khatulistiwa adalah saat terjadinya titik kulminasi matahari, yakni fenomena alam ketika Matahari tepat berada di garis khatulistiwa. Pada saat itu posisi
matahari akan tepat berada di atas kepala sehingga menghilangkan semua bayangan
benda-benda dipermukaan bumi. Pada peristiwa kulminasi tersebut, bayangan tugu
akan "menghilang" beberapa detik saat diterpa sinar Matahari.
Demikian juga dengan bayangan benda-benda lain di sekitar tugu.
Peristiwa titik kulminasi Matahari itu terjadi setahun dua
kali, yakni antara tanggal 21-23 Maret dan 21-23 September. Peristiwa alam ini
menjadi event tahunan kota Pontianak yang menarik kedatangan wisatawan.
Sejarah mengenai pembangunan tugu ini dapat dibaca pada
catatan yang terdapat di dalam gedung.
Sumber tambahan:
https://infopromodiskon.com/
https://id.wikipedia.org/wiki/